Bangun Komunitas, Bangun Ekosistem bareng DRX Token dan AjengTalks

Posted by

Prolog

Acara AMA ini berlangsung pada tanggal 25 Juni 2025, diselenggarakan melalui platform Reku Indonesia (@reku_id) , sebuah platform kripto yang kini semakin aktif membangun literasi Web3 di tanah air. Sesi diskusi ini dipandu oleh Bintang (@BINTANGmhaptra ) selaku perwakilan dari Reku yang berperan sebagai host dan fasilitator dalam mengarahkan jalannya percakapan. Pada kesempatan ini, dua narasumber utama hadir untuk berbagi pandangan dan pengalaman mereka dalam membangun proyek dan komunitas di dunia Web3. Yang pertama adalah Adhytra Cipta (@cryptoboy_rsch ) , perwakilan dari DRX Token, sebuah proyek berbasis teknologi blockchain yang fokus pada ekosistem sport dan koleksi digital. Narasumber kedua adalah sosok yang tak asing di kalangan edukator Web3, yaitu Kak Ajeng (@ajengvera_), pendiri dari kanal edukasi AjengTalks sekaligus bagian dari tim Xellar (@XellarID), sebuah proyek dompet digital yang bergerak di ranah wallet institusional dengan jangkauan lokal maupun global. Kehadiran mereka membawa perspektif yang berbeda namun saling melengkapi: satu dari sisi produk dan komunitas sport, dan satu lagi dari sisi edukasi serta infrastruktur Web3. Dengan kombinasi narasumber yang kuat, sesi ini menjadi ruang berbagi yang sangat kaya bukan hanya bagi mereka yang sudah lama berada di Web3, tapi juga bagi pemula yang ingin mengenal lebih jauh tentang dinamika membangun proyek lokal di tengah tantangan global.

1. Memahami Akar Proyek dan Ekosistem DRX Token tak lahir dari udara kosong

Sebelum token diperkenalkan, DRX telah membangun produk bernama DRX Ware yang berfokus pada koleksi digital seperti jersey bola dan item sport lain yang bisa dilacak kepemilikannya secara on-chain. Menurut Adhytra Cipta, DRX mengedepankan pendekatan komunitas sejak awal: mulai dari pengenalan produk, eksplorasi sport-tech, hingga peluncuran fitur seperti staking yang memungkinkan return hingga 36% per tahun. Sementara itu, Xellar, proyek dompet digital yang digerakkan oleh Ajeng dan timnya, mengarah ke ranah B2B alias wallet institusional. Xellar bekerja sama dengan banyak exchange lokal dan memiliki visi membangun infrastruktur global. Branding mereka memang tak difokuskan untuk pasar Indonesia saja, tapi justru menjembatani antara proyek lokal dengan ekosistem global.

2. Tantangan Proyek Web3 Lokal: FUD & Skeptisisme

Baik Ajeng maupun Cipta sepakat bahwa proyek Web3 lokal sering kali harus menabrak dinding ketidakpercayaan. DRX sebagai proyek Indonesia pernah mengalami fase di mana FUD (Fear, Uncertainty, Doubt) menjadi makanan harian. Namun bagi Cipta, solusinya adalah “buktikan lewat aksi”. Janji bukan modal utama, melainkan eksekusi dan konsistensi. Ajeng menambahkan bahwa branding sebagai proyek Indonesia sering kali jadi beban tersendiri, tapi di sisi lain bisa menjadi peluang. Xellar memilih pendekatan netral dan profesional, fokus pada teknologi dan integrasi internasional. “Fokus kami bukan di retail, tapi di ekosistem yang memahami pentingnya self-custody,” jelasnya.

3. Komunitas: Fondasi yang Tak Tergantikan

Komunitas bukan cuma sekumpulan fans. Mereka adalah partner strategis. Di DRX (@DrxToken), pendekatan komunitas dilakukan lewat interaksi langsung seperti polling di Telegram, masukan terkait UI/UX website, hingga AMA-AMA seperti ini. DRX juga terbuka untuk kolaborasi KOL atau komunitas mana pun yang ingin menjalin kerjasama cukup hubungi tim mereka via DM. Kak Ajeng (@ajengvera_ ) melihat komunitas sebagai elemen pembentuk trust jangka panjang. “KOL itu bukan cuma buzzer. Mereka harus jadi jembatan antara proyek dan audiens. Bukan promosi buta, tapi bantu edukasi dan membangun koneksi,” katanya.

4. Strategi Edukasi: Dari Web2 ke Web3

Ajeng punya peran krusial sebagai edukator Web3 yang menjangkau kalangan Web2, terutama investor retail yang mulai tertarik dengan dunia kripto. Lewat AjengTalks, ia menjadi penghubung antara dunia yang familiar (investasi konvensional) dengan dunia baru Web3. Fokus edukasinya adalah pada fundamental proyek, bukan semata price action. Edukasi harus bisa menjawab tiga pertanyaan penting:
1) Masalah apa yang coba diselesaikan proyek ini?
2) Apakah mereka punya solusi nyata?
3) Apakah proyek ini benar-benar aktif membangun?
Kalau hanya aktif di media sosial tapi tidak punya aktivitas riil seperti campaign atau product update, maka sulit dianggap serius.

5. Staking & Utility DRX Token

Salah satu highlight dari AMA ini adalah penjelasan utilitas DRX Token. Tak hanya sekadar alat transaksi atau spekulasi harga, DRX Token kini memiliki fitur staking dengan sistem leveling: 1) DRX Baby Ranger 2) DRX Ranger 3) DRX Super Ranger Setiap level memiliki reward berbeda. Super Ranger, misalnya, akan mendapatkan akses ke konten premium, kemungkinan tiket nonton pertandingan langsung, hingga keuntungan eksklusif lain. Sistem ini tengah dikembangkan untuk meningkatkan keterlibatan dan loyalitas pengguna.

6. Navigasi Web3 Saat Market Sideways

Dalam suasana market yang stagnan, Ajeng menyampaikan bahwa semangatnya tidak berkurang. Web3 bukan hanya soal naik-turun harga, tapi tentang teknologi dan kreativitas. “Bitcoin mungkin drop ke 99k, tapi inovasinya tetap jalan. Yang penting bukan soal investasi cepat, tapi gimana kita bisa berkontribusi di ekosistem,” ujarnya. Indonesia sendiri dianggap subur untuk Web3 karena banyaknya event seperti hackathon, workshop, dan partisipasi lintas bidang bukan hanya developer, tapi juga desainer, konten kreator, hingga penggiat komunitas.

7. Tips Menilai Proyek Web3 yang Layak Dukung

Menurut DRX dan Ajeng, berikut indikator proyek Web3 yang layak didukung:
1) Roadmap jelas & tidak absurd
2) Whitepaper berbasis solusi, bukan janji
3) Tim aktif & transparan di media sosial
4) Ada bukti progress, bukan hanya hype
5) Mereka mendukung komunitas, bukan sekadar mengundang.
Ajeng juga mengingatkan bahwa pernah ada KOL yang mempromosikan proyek yang akhirnya rug pull, dan itu jadi pembelajaran penting bahwa dukungan harus dibarengi dengan akurasi dan tanggung jawab moral.

8. Komunitas = Aset Tertinggi Web3

Ajeng menutup dengan refleksi personal: “Dulu di Web2 prosesnya terlalu birokratis. Di Web3 justru lebih kolaboratif. Komunitas itu adalah gold-nya Web3. Kalau proyek bagus tapi komunitas jelek, maka susah untuk tumbuh.” Hal ini diamini oleh DRX yang merasa bahwa support komunitas adalah nafas panjang proyek, dan karena itu pihaknya secara aktif mendengarkan feedback dan membuka ruang sinergi.

Penutup

AMA ini memperlihatkan bahwa proyek Web3 Indonesia sudah semakin matang. Tak lagi sekadar mengandalkan hype token, tapi mulai berbicara soal produk nyata, roadmap yang kuat, dan strategi komunitas yang membumi. Baik DRX maupun Xellar punya pendekatan berbeda, tapi satu benang merah: komunitas bukan sekadar pasar, tapi partner dalam membangun masa depan Web3.

Categories:

Tags:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *