Unlocking Indonesia’s Web3 Talent: Catatan Acara Event Superteam Indonesia di Yogyakarta

Posted by

Prolog

Tanggal 22 Juni 2025 di Kaktus Coffee, Yogyakarta, menjadi acara penting bagi Superteam Indonesia untuk berdiskusi dengan para developer dan calon developer untuk bersama-sama membuka wawasan dan ide dalam dunia web3. Koh Steven Wijaya (@Wijayasteven93 ) dari Superteam Indonesia (@SuperteamINDO ) membuka diskusi dengan satu keresahan yakni : “Indonesia itu besar. Tapi belum banyak yang merangkul builder secara merata. Kalau kita tidak bergerak sekarang, kita akan tertinggal bukan dari Jepang atau Korea, tapi dari tetangga dekat seperti Vietnam dan Malaysia. Padahal kita punya jutaan developer aktif. Tapi sayangnya, mereka tertinggal hanya karena tidak punya akses, tidak punya komunitas, dan tidak dapat dukungan.” Dari situlah arah pembicaraan berkembang tentang bagaimana ekosistem builder Indonesia bisa tumbuh jika diberi support yang benar, tentang peran komunitas dalam mengangkat builder ke kancah global, dan tentang urgensi membangun bukan hanya startup, tapi juga kepercayaan. Turut hadir dalam diskusi ini Pak Yanzero (@yanzero_ ) tokoh penggerak DevWeb3 Jogja (@devweb3jogja ) yang turut menambahkan: “Sebenarnya kami punya visi yang sama dengan Superteam Indonesia, yakni memberikan edukasi web3 di Indonesia. Tapi kami memulai dari Jogja dulu. Adapun dalam jaringan Solana untuk saat ini, Saya hanya bisa bantu di level konseptual, karena belum ada yang kuasai SVM secara penuh. Tapi kalau teman-teman punya ide, ingin diskusi, bisa langsung ke basecamp DevWeb3 Jogja. Kami fokus bikin produknya dulu, marketing belakangan. Dan di sini developer adalah ujung tombak. Tantangannya besar, tapi ini justru peluang buat siapa pun yang ingin berkembang.” Dialog dua arah ini menandai satu hal penting: bahwa kolaborasi antara inisiatif nasional seperti Superteam Indonesia dan komunitas lokal seperti DevWeb3 Jogja adalah kunci membangun ekosistem Web3 yang inklusif dan sustainable di Indonesia. Dan dari sinilah pembahasan kita mulai…

1. Indonesia: Talenta Besar, Dukungan Kecil

Salah satu keresahan utama yang mencuat dari diskusi ini adalah ketimpangan antara jumlah talenta dan dukungan nyata dari ekosistem. Banyak builder di luar Jakarta dan Jogja yang punya potensi besar yang mana berasal dari pulau Sumatera dan Sulawesi yang tertinggal update informasi. Bukan karena bodoh, tapi karena nggak dapat akses, nggak dapat informasi. Beberapa dari mereka gak tahu ada hackathon, gak tahu grant mana yang terbuka, bahkan gak tahu harus belajar dari siapa. Ironisnya, kita sering mengidolakan Jepang atau Korea sebagai benchmark, padahal negara seperti Vietnam saja sudah melesat jauh dalam 10 tahun terakhir. Dulu mereka belajar dari Indonesia, sekarang kita justru tertinggal jauh di belakang mereka. Masalahnya jelas: bukan di skill, tapi di ekosistem. Di Vietnam, mereka punya sistem mentoring yang kuat, dukungan pemerintah yang nyata, dan komunitas yang saling dorong.

2. Superteam: Bukan Sekadar Komunitas, Tapi Gerakan

Superteam ( @SuperteamINDO ) hadir bukan untuk jadi penyelenggara event, bukan sekadar komunitas yang bikin space di Discord. Superteam adalah system support untuk builder. Mereka gak minta duit. Mereka gak jualan NFT. Tapi mereka kasih satu hal yang krusial: mentorship dan komitmen. Sebagaimana koh Steven ( @Wijayasteven93 ) mengatakan : Siapa pun yang mau bangun proyek di ekosistem Solana, selama punya komitmen, akan didukung. Bukan cuma developer, tapi juga product manager, bahkan founder yang baru punya ide mentah.” Ada beberapa hal yang Superteam Indonesia lakukan yang mana itu sederhana tetapi powerful:
1) Mentorin proyek dari nol sampai punya user
2) Fasilitasi hackathon bukan untuk hadiah, tapi untuk melahirkan produk nyata
3) Kurasi builder bukan berdasarkan portofolio, tapi komitmen dan niat belajar
4) Dorong tiap anggota buat grow bareng, bukan bersaing saling sikut Dan itu bukan jargon. Batch pertama hackathon di Indonesia dari Superteam ngasih bukti. Dari 33 proyek yang submit, 20 di antaranya berhasil dikawal hingga tahap validasi dan pengembangan lanjut.

3. Realita Pahit: Stigma Proyek Indonesia di Mata Investor

Fakta paling menyakitkan dalam diskusi ini adalah soal stigma. Dalam hasil diskusi koh Steven (@Wijayasteven93 ) memaparkan bahwa banyak proyek dari Indonesia yang sebenarnya solid secara teknologi, clear secara bisnis model, tapi tetap gagal dapet funding. Kenapa? Karena hanya satu alasan: “Proyek ini dari Indonesia.” Padahal di chain sebelah, proyek biasa aja bisa tembus funding sampai 5 juta dolar. Sementara builder lokal yang matang dan siap malah harus balik kanan karena gak ada investor yang percaya. Ini bukan cuma soal teknis. Ini soal branding dan trust. Makanya Superteam Indonesia (@SuperteamINDO ) sadar: kalau Indonesia mau naik kelas, kita gak bisa cuma jualan teknikalitas. Kita perlu membangun ekosistem kepercayaan yang mana dari dua hal yakni dari pemerintah dan masyarakat. Adapun dalam membangun hubungan ini juga bisa dilakukan dengan pendekatan top down.

4. Kenapa Builder Butuh Lebih dari Sekadar Edukasi

Superteam sadar satu hal: edukasi itu penting, tapi gak cukup. Builder bukan sekadar butuh “belajar”, mereka butuh “didorong”. Di komunitas Superteam, builder gak ditinggal sendirian habis ikut kelas. Mereka dikawal. Dibantu bikin peta jalan. Ditantang untuk apply, bukan cuma paham. Lebih jauh lagi, Superteam paham bahwa builder bukan cuma developer. Di ekosistem web3 yang ideal, semua peran itu penting:
1) Developer: eksekutor produk
2) Product manager: jembatan antara ide dan realisasi
3) Growth hacker: ujung tombak adopsi
4) Marketing: penyampai nilai ke publik Semua ini bisa tumbuh kalau ada satu kunci: kolaborasi intensif dan long-term mentoring.

5. Jogja: Pintu Masuk Perubahan

Kenapa dimulai dari Jogja? Karena Jogja punya akar komunitas yang kuat. Ada komunitas DevWeb3 Jogja (@devweb3jogja ) yang dimentorin oleh Pak yan (@yanzero_ ) yang mana ini menunjukan ada ekosistem yang sudah bergerak. Di DevWeb3 Jogja, filosofi mereka sederhana: “Build first, market later.” Mereka bikin dulu produknya, baru mikirin market. Ini bagus karena fokus di substansi. Tapi kadang butuh jembatan agar produk bagus bisa disampaikan dengan narasi yang tepat. Superteam Indonesia (@SuperteamINDO ) di sini hadir sebagai jembatan: 1) Saat builder Jogja kesulitan cari support teknis → Superteam hadir bantu debugging 2) Saat builder gak punya akses investor atau grant → Superteam bantu koneksi 3) Saat builder stuck di ide → Superteam bantu validasi

6. Gagalnya Masa Lalu dan Jalan Baru Web3

Kita gak bisa tutup mata: periode 2020–2023 adalah fase gelap. Banyak proyek dari Indonesia yang terlalu cepat bikin token tanpa validasi produk. Akibatnya, saat pasar anjlok, semua ikut tenggelam. Dan sayangnya, stigma negatif itu masih melekat. Superteam jelas: no token launching sebelum ada product-market fit. Bahkan idealnya:
1) Produk jalan dulu
2) Monetisasi dari service, bukan token
3) Kalau pun perlu token, itu dilakukan secara matang dan relevan dengan mekanisme ekonomi produk Mindset ini penting supaya builder Indonesia bisa lepas dari image “cepat cuan, lambat inovasi”.

7. Cara Monetisasi Web3 tanpa Token? Bisa Banget

Satu pemikiran penting dari diskusi ini adalah soal monetisasi web3. Banyak orang mikir: “Kalau gak launching token, terus dapet duit dari mana?” Jawabannya: Sama seperti Web2. yang mana dalam web3 juga ada :
1) Jual jasa
2) Bikin layanan
3) Ambil margin dari transaksi
4) Subscription
5) White-label product untuk B2B.
Berdasaran hasil dari diskusi ini dapat menunjukan bahwa token itu hanya satu alat. Bukan satu-satunya. Dan justru banyak proyek besar global yang gak pernah jual token.

Kesimpulan: Saatnya Indonesia Tidak Lagi Jalan Sendiri

Diskusi dalam acara Superteam Indonesia di Yogyakarta menunjukkan bahwa potensi web3 Indonesia bukan sekadar wacana ia nyata, besar, dan tersebar luas. Namun, potensi ini belum menjelma menjadi kekuatan kolektif karena satu hal mendasar: kita belum memiliki ekosistem yang benar-benar terkoordinasi, terhubung, dan berkelanjutan. Masalah kita bukan di kualitas talenta. Kita punya jutaan developer aktif, banyak di antaranya bahkan sudah terlibat dalam proyek-proyek global. Masalah kita adalah: akses terbatas, minimnya mentorship, stigma negatif terhadap proyek lokal, dan kurangnya kolaborasi lintas peran. Selama builder, PM, marketer, dan komunitas berjalan sendiri-sendiri, kita hanya akan memproduksi proyek yang bagus tapi gagal tembus ke pasar karena tak punya support jangka panjang.

Categories:

Tags:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *