Silaturahmi Komunitas Web3 Jogja dan Wahid Foundation: Membangun Jembatan antara Teknologi, Nilai, dan Masyarakat

Posted by

Silaturahmi Komunitas Web3 Jogja dan Wahid Foundation: Membangun Jembatan antara Teknologi, Nilai, dan Masyarakat

Yogyakarta, selama ini dikenal sebagai kota pelajar dan pusat kebudayaan, kini tumbuh sebagai salah satu ekosistem paling aktif dalam pengembangan teknologi blockchain di Indonesia. Transformasi ini tidak terjadi secara tiba-tiba, melainkan muncul dari kebutuhan kolektif yang mendesak: ketika ekosistem digital konvensional mengalami disrupsi besar-besaran, termasuk gelombang layoff, banyak talenta muda mencari ruang baru untuk bertumbuh secara teknologis. Dalam konteks ini, berbagai komunitas yang sebelumnya berfokus pada dunia kripto mulai mengarahkan perhatiannya pada fondasi teknologi yang lebih mendalam—yakni blockchain dan Web3. Di Yogyakarta, sejumlah komunitas mulai menandai kehadirannya, termasuk CryptoIndo Jogja (CIJ). Namun, dari sekian banyak inisiatif tersebut, lahirlah sebuah komunitas yang memiliki pendekatan sistematis yang mengkhususkan bagi developer dalam pengembangan teknologi blockchain, yaitu DevWeb3 Jogja. DevWeb3 Jogja adalah komunitas yang secara konsisten menyelenggarakan pelatihan dan workshop di bidang teknologi blockchain. Fokus mereka bukan hanya pada pengenalan teknologi, tetapi juga pada penguatan kapasitas praktis dari smart contract hingga partisipasi dalam kompetisi pengembangan skala internasional atau biasa disebut dengan hackathon. Komunitas ini telah menjadi pusat pembelajaran terbuka yang mempertemukan berbagai macam latar belakang mulai dari mahasiswa, guru, profesional muda, hingga pegiat teknologi dari berbagai daerah. Salah satu ciri khas DevWeb3 Jogja adalah ekosistemnya yang terbangun secara gotong royong. Hasil dari berbagai partisipasi mereka dalam kompetisi hackathon di tingkat internasional yang digunakan bersama-sama untuk menyewa sebuah tempat belajar di Condong Catur. Tempat ini bukan hanya berfungsi sebagai ruang pelatihan, tetapi juga menjadi basecamp komunitas sebagai ruang belajar, dan bertukar ide. Banyak anggota dari luar kota Jogja seperti Cirebon atau Jakarta datang untuk tinggal sementara dan belajar langsung di sana. Atmosfer peer-to-peer menjadi elemen penting dalam model belajar ini. Tidak ada hierarki yang kaku. Setiap orang bisa belajar dari yang lain termasuk dari junior ke senior yang mana bisa mengajukan pertanyaan, menguji hipotesis, dan bereksperimen dengan teknologi-teknologi baru secara langsung. Dari berbagai diskusi internal komunitas, terutama dalam perbincangan dengan Pak Oscar muncul sebuah saran yang mengarah pada jembatan kolaborasi yang lebih luas. Saran inilah yang kemudian ditindaklanjuti oleh Pak Yanwar selaku perwakilan komunitas, dan menjadi awal dari silaturahmi dengan bu Yeni Wahid (Wahid Foundation). Maka, titik tolaknya jelas: kehadiran komunitas blockchain Jogja bukan sekadar tren, tetapi respons terorganisir terhadap disrupsi, sekaligus strategi penguatan kapasitas teknologi berbasis komunitas. Silaturahmi ini menjadi kelanjutan dari inisiatif tersebut sebagai upaya mempertemukan teknologi dan nilai dalam satu ruang bersama.

Representasi Beragam dari Ekosistem Web3 Jogja

Silaturahmi ini juga menjadi ruang perkenalan beberapa anggota komunitas. Perlu dicatat, yang hadir dan memperkenalkan diri hanyalah sebagian kecil dari total jaringan aktif komunitas yang terdiri dari ratusan individu lintas latar belakang. Misalnya, Irfan dari Imogiri, Bantul, adalah contoh talenta lokal yang berhasil menembus 10 besar kompetisi hackathon internasional. Aplikasinya menawarkan pendekatan baru dalam mengelola aset keuangan digital yang tetap aman meski dikunci, namun tetap bisa dikelola ulang. Lalu ada Ichsan dari Kulon Progo yang bukan seorang developer, namun memiliki peran krusial sebagai analis teknikal. Ia membantu komunitas membaca arah pasar, mendampingi proses validasi ide, dan menerjemahkan data pasar menjadi strategi pengembangan. Yudha Tama, berhasil menjadi juara dalam ajang http://Ohara.AI meskipun tidak memiliki latar belakang teknis pemrograman. Dengan bantuan AI, ia membuktikan bahwa DeFi bisa diakses oleh siapapun yang memiliki niat belajar, bukan hanya coder. Aji, seorang guru matematika dari Sedayu, juga merupakan bagian dari komunitas yang aktif mengikuti hackathon. Ia adalah contoh bahwa Web3 dapat menjadi arena eksplorasi lintas profesi dari pengajar sekolah menengah hingga developer blockchain.

Peace Village Jogja: Infrastruktur Sosial untuk Teknologi Inklusif

Bu Yeni Wahid menyambut komunitas dengan hangat. Ia memperkenalkan Peace Village Jogja sebagai bagian dari jaringan nasional Peace Village Wahid Foundation yang telah tersebar di 44 desa. Keunikan Peace Village Jogja adalah kedekatannya dengan teknologi diwujudkan melalui pondok pesantren coding bagi perempuan, bernama Qaryatussalam. Program ini merupakan bootcamp 3-4 bulan berbasis kurikulum Amazon Web Services (AWS), dengan pendekatan hybrid: belajar coding di pagi hari, belajar mengaji di malam hari. Meskipun sempat terhenti karena pandemi dan relokasi, semangat untuk menghidupkan kembali pesantren coding ini masih menyala — terutama setelah bertemu dengan komunitas Web3 Jogja. Peace Village bukan hanya tempat, melainkan ruang kolaboratif. Di tempat ini, komunitas yoga, seni, pencak silat, hingga developer bisa berkegiatan berdampingan. Sebuah model inklusivitas yang layak ditiru. Bagaimana menjadikan Peace Village sebagai pusat pembelajaran Web3 dan AI? Bu Yeni menyatakan bahwa ke depan, program pelatihan tidak bisa hanya fokus pada coding. AI harus menjadi bagian integral. Selain itu, perlu kelas 1-2 hari yang ditujukan untuk non-developer: orang biasa yang ingin memahami alat bantu berbasis AI seperti ChatGPT, Midjourney, dan lainnya. Pelatihan ini bukan untuk mencetak ahli, tapi untuk meningkatkan literasi digital publik. Program leadership class juga akan dihidupkan kembali kelas yang dulu difokuskan untuk santri perempuan dan kini direncanakan untuk diperluas ke santri laki-laki juga. Hal ini menunjukkan bahwa dunia web3 bukan hanya soal teknikal, tapi juga kepemimpinan dan kesadaran sosial.

Mentorship dan Skema Peningkatan Diri

Pak Yanwar juga menambahkan bahwa skema pelatihan komunitas Web3 Jogja selalu berujung pada mentorship. Setiap peserta bootcamp akan dimasukkan dalam grup baru yang kemudian mendapat bimbingan dari senior, baik untuk pengembangan produk kompetitif, maupun untuk validasi pasar. Fokus saat ini memang masih pada kompetisi internasional, bukan karena sekadar gengsi, tetapi karena ingin mendorong peserta untuk membangun self-esteem. Banyak orang Indonesia memiliki keterampilan, namun tidak percaya diri. Maka komunitas ini hadir sebagai ruang pendampingan mentalitas dan karakter.

Mengubah Budaya, Membentuk Keberanian

Bu Yeni menanggapi dengan refleksi yang mendalam. Ia mengakui bahwa budaya harmoni khas Asia Tenggara seringkali menjadi penghambat dalam konteks global, terutama ketika dibutuhkan keterbukaan, keberanian berbicara, dan daya saing. Ia berbagi pengalaman pribadi saat harus memanggil profesornya dengan nama langsung di luar negeri, yang awalnya sulit secara budaya. Tetapi pada akhirnya, keberanian mengambil risiko harus menjadi budaya baru. Kelas kepemimpinan di pesantren coding menjadi salah satu upaya membentuk kultur tersebut. Bu Yeni juga menegaskan bahwa komunitas adalah barang publik. Jika seseorang hanya memikirkan keuntungan pribadi, maka ia tidak akan cocok berada dalam komunitas ini. Sebaliknya, mereka yang mau berbagi, tumbuh bersama, dan peduli pada kesejahteraan kolektif akan mendapatkan dukungan semesta. Nilai ini sejalan dengan transformasi dunia: dari era individualistik menuju era kolaboratif. Web3 bukan hanya sistem teknologi, tapi cermin dari transformasi nilai. Maka, komunitas seperti Web3 Jogja bukan hanya dibutuhkan, tetapi menjadi bagian penting dari perubahan zaman. Sebagai penutup, Bu Yeni mengajak komunitas untuk melihat area belakang Peace Village yang akan direnovasi menjadi ruang kelas dan penginapan. Rancangannya mengusung nuansa alami joglo, ruang terbuka, dan lingkungan yang ramah bagi pembelajaran non-formal. Harapannya, tempat ini dapat menjadi hub bagi pelatihan coding, AI, kepemimpinan, dan seni semuanya dalam satu ekosistem komunitas yang hidup, berkelanjutan, dan terbuka. Adapun pertemuan ini bukan sekadar obrolan lintas komunitas. Ia adalah deklarasi bersama bahwa teknologi harus berakar pada nilai, dan nilai harus berani tumbuh dalam format baru. Web3 adalah jalan bagi banyak anak muda untuk membuktikan diri, membangun ekosistem, dan menciptakan kebermanfaatan kolektif.

Web3 Sebagai Medium Transformasi Budaya dan Mentalitas

Web3 bukan hanya menawarkan teknologi, tetapi juga cara berpikir baru: desentralisasi kepercayaan diri. Di sinilah masalah sebagaimana yang dikatakan oleh pak Yanwar bahwa “starting from minus” menjadi refleksi yang serius. Dalam kompetisi global, banyak dari kita berpikir bahwa kemampuan bahasa Inggris yang tidak sempurna atau minimnya eksposur global menjadi halangan besar. Namun pengalaman para anggota menunjukkan bahwa realitasnya tidak sesulit itu. Bahkan para juara berasal dari modal bahasa inggris yang minim, tapi daya juang tinggi. Komunitas ini menjadikan FOMO sebagai energi positif bahwa ketika satu anggota berhasil, yang lain tidak iri, tapi justru tertantang untuk ikut mengejar. Maka, kemenangan dalam hackathon bukanlah tujuan akhir, melainkan katalis untuk membangun mentalitas percaya diri, siap go-global, dan mengubah tantangan menjadi peluang.

DevWeb3 Jogja: Ekosistem Terbesar di Indonesia

Dengan lebih dari 120 developer aktif, DevWeb3 Jogja saat ini adalah salah satu komunitas penggerak teknologi blockchain terbesar di Indonesia. Dalam setiap sesi pelatihan atau workshop, antusiasme selalu melampaui kapasitas. Sebuah contoh: dari 150 pendaftar, hanya 100 yang bisa diakomodasi dalam satu workshop karena keterbatasan ruang dan sumber daya. Fakta ini menunjukkan bahwa potensi untuk pertumbuhan bukan hanya ada tapi mendesak. Maka kolaborasi menjadi keharusan.

Jembatan Akademik: Prof. Greg Barton dan Inovasi Pendidikan

Prof. Greg Barton, Rektor Universitas Deakin kampus Universitas Lancaster Indonesia, hadir dalam pertemuan ini dengan perspektif akademik dan komitmen untuk membangun ekosistem pendidikan yang relevan. Ia mengungkapkan bahwa kampus mereka akan memulai perkuliahan dengan lima kategori program, termasuk bidang IT dan bisnis, dengan pendekatan kolaboratif terhadap startup lokal. Model pendidikan tiga tahun yang ditawarkan universitas ini setara dengan S1 dan sangat terbuka terhadap kerja sama lintas komunitas. Bahkan, secara eksplisit professror Greg mengakatan bahwa : ” Dunia Web3 adalah bidang baru yang mana sangat sederhana pada saat ini yang mana dimulai dengan 40an mahasiswa untuk saat ini di bulan september dan jadi kami akan kerja sama dengan startup di bandung jadi kalau perlu tempat di bandung memang sudah ada tujuan untuk kerja sama pasti nanti mahasiswa kami mencari tempat untuk kerjasama tapi untuk projek di jogja kami sangat mau untuk kerjasama dan kami mau berbicara.”

Menautkan Islam Nusantara dan Teknologi: Prof. Ahmad Suaedy

Hadir pula Prof. Ahmad Suaedy yakni seorang Dekan Fakultas Islam Nusantara Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (UNUSIA). Beliau membawa misi besar: mengglobalisasi narasi Islam Nusantara melalui teknologi, terutama AI. Sebagai generasi pra-babyboomer dengan latar belakang teknik, beliau mengakui tantangan besar dalam menghubungkan narasi kultural dengan lanskap digital. Namun, semangat untuk berinteraksi dengan generasi muda dan komunitas Web3 menjadi titik harapan baru. Buku barunya yang akan segera terbit menjadi medium awal untuk eksplorasi ide tersebut.

Categories:

Tags:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *