
Introduction
Coinfest Asia 2025 menjadi salah satu ajang terbesar bagi para pelaku industri Web3, mulai dari developer, investor, hingga komunitas global. Salah satu sesi yang paling menarik perhatian adalah CT Mega Meetup, yang dipandu oleh host Kak @nkskrdwyn dan Kak @mickeymrdt. Dalam forum ini, sejumlah tokoh crypto membahas narasi terbaru yang sedang menjadi perbincangan luas, yaitu Web 2.5. Konsep ini hadir sebagai jembatan transisi antara sistem terpusat khas Web2 dengan cita-cita desentralisasi penuh dalam Web3. Narasi Web 2.5 dianggap menarik karena menawarkan pendekatan bertahap: menghadirkan pengalaman pengguna yang sederhana, tetapi tetap memanfaatkan fondasi blockchain. Diskusi tidak berhenti pada wacana naratif, melainkan juga menyinggung tren yang tengah berkembang di jaringan Base. Menurut Bang Alex, salah satu narasi terkuat di Base adalah Real World Asset (RWA) dan Finance, dengan slogan “On-chain is a new line.” Istilah ini menegaskan bahwa semakin banyak aktivitas finansial nyata yang mulai dipindahkan ke blockchain. Konsep tersebut menandai lahirnya paradigma baru dalam pengelolaan aset dan transaksi. Selain membicarakan arah industri, forum ini juga menyoroti aspek teknis yang sering menjadi pertanyaan utama para developer: bahasa pemrograman dan ekosistem chain. Dunia Web3 menawarkan banyak pilihan bahasa, seperti Rust, Solidity, Python, hingga JavaScript. Masing-masing memiliki kelebihan dan keterbatasan, sehingga menimbulkan pertanyaan: bahasa mana yang paling sesuai, dan di chain apa sebaiknya membangun produk? Diskusi yang diwarnai perspektif beragam dari para pembicara memberikan jawaban yang bernuansa akademik, tetapi tetap mudah dipahami.
1. Web 2.5 sebagai Narasi Transisi
Web 2.5 dipandang sebagai pendekatan realistis dalam proses menuju Web3. Web2 memberikan pengalaman yang praktis dan cepat, tetapi cenderung terpusat. Web3 menawarkan desentralisasi, kepemilikan data pribadi, serta transparansi melalui smart contract. Namun, transisi penuh menuju Web3 seringkali menghadirkan hambatan, terutama bagi pengguna awam yang kesulitan memahami konsep wallet, gas fee, atau interaksi langsung dengan kontrak pintar. Dalam konteks inilah Web 2.5 berperan. Ia memanfaatkan infrastruktur Web2 yang matang sebagai pondasi, tetapi secara perlahan menyisipkan elemen desentralisasi. Contohnya, aplikasi dengan antarmuka sederhana yang tetap menyimpan data finansial secara on-chain. Model ini memungkinkan pengguna merasakan manfaat blockchain tanpa langsung dihadapkan pada kerumitan teknis. Karena itu, Web 2.5 dianggap sebagai narasi “seksi” untuk mempercepat adopsi massal.
2. Base, RWA, dan On-Chain Economy
Bang Alex menekankan bahwa jaringan Base saat ini menjadi salah satu pusat pertumbuhan signifikan dalam dunia Web3. Fokus Base pada RWA dan Finance memberikan arah baru: membawa aset dunia nyata ke blockchain. RWA memungkinkan tokenisasi atas aset seperti properti, surat berharga, hingga komoditas, sehingga dapat diperdagangkan secara global, transparan, dan efisien. Slogan “On-chain is a new line” mencerminkan transformasi ekonomi yang lebih besar. Tidak hanya sekadar mengembangkan token atau NFT, proyek-proyek di Base mencoba menghubungkan dunia nyata dengan ekosistem digital. Dengan demikian, peluang yang muncul tidak hanya bersifat spekulatif, tetapi juga memiliki nilai praktis bagi sektor keuangan maupun masyarakat luas.
3. Bahasa Pemrograman di Ekosistem
Web3 Salah satu inti diskusi adalah mengenai bahasa pemrograman yang digunakan dalam pengembangan Web3. Setiap bahasa memiliki konteks penggunaan yang berbeda.
3.1 Solidity: Pilar Ekosistem EVM
Bang William menegaskan bahwa Solidity adalah bahasa paling nqqyaman dan praktis bagi banyak developer. Solidity menjadi fondasi bagi Ethereum Virtual Machine (EVM), yang ekosistemnya sudah matang dengan dokumentasi, library, dan komunitas besar. Keuntungan utama adalah efisiensi: developer dapat memanfaatkan modul yang tersedia tanpa harus membangun dari awal. Hal ini mempercepat proses rilis produk dan memudahkan integrasi dengan berbagai protokol. Bang Akbar juga menambahkan, meskipun ia bukan ahli dalam Solidity, bahasa ini relatif cepat dipelajari. Kompleksitas yang ada dapat ditangani dengan bantuan library yang sudah lengkap. Bagi developer yang ingin segera merilis produk, Solidity adalah pilihan yang strategis.
3.2 Rust: Performa Tinggi, Belajar Curam
Bahasa Rust sering dikaitkan dengan ekosistem Solana. Rust dikenal karena performanya yang tinggi, sehingga cocok untuk aplikasi yang memerlukan kecepatan transaksi besar, misalnya game atau aplikasi dengan basis pengguna masif. Namun, Rust juga memiliki kurva pembelajaran yang curam. Seperti diungkapkan para pembicara, membaca kode Rust membutuhkan pemahaman yang mendalam, sehingga kurang ramah bagi pemula. Meski demikian, Rust tetap relevan bagi developer yang ingin mengutamakan performa teknis. Solana, dengan dukungan Rust, menjadi ekosistem yang cocok bagi aplikasi yang berorientasi konsumen.
3.3 Python: Familiar bagi Engineer AI
Bagi bang Akbar yang juga berpengalaman di bidang AI, Python merupakan bahasa yang akrab. Python unggul dalam analisis data, machine learning, dan automasi. Namun, dalam konteks Web3, Python lebih sering digunakan untuk membangun tool dan backend, bukan smart contract. Dari segi kompleksitas, Python tidak sepenuhnya mampu memenuhi kebutuhan pengembangan kontrak pintar yang rumit. Karena itu, meski populer di dunia AI, Python bukan pilihan utama untuk core development di Web3.
3.4 JavaScript: Jembatan Web2 ke Web3
Bro Alex menyebut JavaScript sebagai bahasa favoritnya. Ia menilai JavaScript fleksibel dan menyenangkan, terutama bagi mereka yang terbiasa dengan ekosistem Web2. JavaScript memainkan peran penting sebagai penghubung antara frontend aplikasi dengan kontrak pintar di blockchain. Banyak library Web3 yang sudah mendukung JavaScript, sehingga bahasa ini tetap relevan, meski tidak sekuat Solidity dalam membangun kontrak inti.
Leave a Reply