
Prolog
25 Juni 2025 menjadi salah satu momentum menarik dalam upaya mengenalkan teknologi Web3 secara langsung ke generasi muda kampus. Di Universitas Nahdlatul Ulama Yogyakarta (UNU Yogyakarta) (@UNUJogja ), agenda “Web3 on Campus” dihelat dengan dua sesi utama, dan pada kali ini akan dibahas pada sesi pertama yakni terkait dengan pemaparan dari Resna Raniadi, perwakilan dari Upbit Indonesia ( @UpbitID), salah satu exchange aset digital terbesar di Asia. Alih-alih memulai dengan teori kompleks soal kripto atau regulasi blockchain, Resna justru membuka sesi dengan pendekatan yang sangat manusiawi sebuah cerita personal. “Kenapa saya masuk Web3? Gak tahu, yakin aja,” ungkapnya santai. Kalimat yang terdengar ringan itu sebenarnya mencerminkan realita banyak pelaku Web3 di awal perjalanan mereka: keberanian untuk melangkah meskipun ketidakpastian besar masih menyelimuti.
1. Upbit: Dari Korea ke Indonesia
Upbit sendiri bukan pemain baru di mana exchange ini diluncurkan pada oktober 2017. Adapun sejak tahun 2021, exchange ini telah memperoleh lisensi penuh dari regulator Korea Selatan, menjadikannya exchange nomor satu di negeri ginseng tersebut. Perjalanan globalnya pun tak main-main Agustus 2020 mereka menembus pasar Thailand, dan pada 17 Maret 2025, secara resmi Upbit mendapat izin dari OJK (Otoritas Jasa Keuangan) Indonesia, menjadikannya bagian dari lanskap legal kripto nasional. Hal menarik dari narasi Resna adalah bagaimana ia menekankan perbedaan antara proses perizinan yang dulu dikelola oleh Bappebti di bawah Kementerian Perdagangan, dan kini telah berpindah ke ranah pengawasan OJK, sebagai bagian dari reposisi kripto dalam sistem keuangan digital Indonesia. Transisi ini penting karena menyiratkan kripto bukan sekadar “barang dagangan digital”, tapi telah masuk ke orbit pengawasan keuangan yang lebih sistemik. Sejak 2018 hingga hari ini, menurut Resna, Upbit di Indonesia mencatat lebih dari 1 juta pengguna dan membukukan total transaksi senilai Rp52 triliun, hanya di dalam negeri. Sebuah angka yang tidak bisa dipandang sebelah mata jika kita ingin serius melihat Web3 sebagai pilar baru ekonomi digital.
2. Keamanan: Lebih dari Sekadar KYC
Salah satu aspek yang paling ditekankan Resna adalah keamanan dan transparansi. “Kalau kamu daftar di Upbit, kamu bakal ngelewatin satu tahap ekstra dalam proses KYC, dan itu melibatkan verifikasi langsung dengan manusia,” jelasnya. Di sinilah Upbit mencoba memberi kepercayaan lebih kepada pengguna bahwa sistem mereka bukan semata-mata otomatisasi tanpa kontrol manusia. Yang lebih menarik lagi, Upbit menggunakan sistem pemantauan bernama Thomson Reuters World-Check, yang memungkinkan nama pengguna dicek real-time terhadap berbagai database global, termasuk terkait sanctioned countries, aktivitas politik, dan indikasi penipuan atau kriminalitas finansial. Sistem ini bukan hanya aktif saat pendaftaran, tapi berjalan setiap hari jika suatu waktu nama pengguna terseret dalam kasus penipuan, sistem langsung mendeteksi dan menandainya.
3. Edukasi dan Literasi: Kunci Memutus Rantai Tipuan
Dalam sesi diskusi ini, Resna menyoroti bahwa masih banyak masyarakat bahkan mahasiswa yang tertipu oleh janji-janji investasi instan. “Kalau ada yang nawarin untung besar dalam waktu singkat, itu udah red flag,” tegasnya. Dunia Web3 itu permissionless, iya, tapi tetap harus didekati dengan akal sehat dan penguasaan tools. Resna menjelaskan bahwa dalam Web3, kepemilikan atas aset adalah mutlak. “Aset digitalmu, wallet-mu, harus kamu yang pegang. Gak bisa nitip ke orang lain.” Bahkan di dalam platform exchange yang sah seperti Upbit, pengguna punya hak penuh untuk menarik aset kapan saja tanpa perlu “kontak CS dulu, kirim email, atau tunggu hari kerja.” Hal ini menjadi pembeda besar antara exchange legal dan praktik-praktik abal-abal yang sering berkedok investasi. Selain itu, Resna mengimbau untuk tidak mengunduh aplikasi dari luar Google Play. Banyak kasus penipuan bermula dari file APK palsu yang berujung pencurian data dan dana. “Kalau exchange-nya legal, aplikasinya pasti tersedia di Google Play,” ujarnya.
4. Pajak, dan Kontribusi pada Negara
Isu pajak kripto juga menjadi bagian penting dari diskusi. Setiap transaksi di Upbit sudah dikenakan komponen pajak yang nantinya dikumpulkan dan disetorkan ke negara setiap bulan. Ini sekaligus membuktikan bahwa meskipun Web3 bersifat global, di Indonesia ia tetap berada dalam koridor sistem ekonomi dan fiskal nasional.
5. Karier di Web3: Siapa Pun Bisa Masuk
Salah satu bagian yang paling menggugah dari sesi ini adalah cerita tentang peluang karier di Web3, bahkan untuk mereka yang sebelumnya tidak punya latar belakang teknologi. Menurut Resna, hanya 10% karyawan Upbit Indonesia yang memang berasal dari industri blockchain. Sisanya? Campuran dari berbagai profesi dan latar belakang. Sebut saja contoh seorang karyawan senior berusia 45 tahun, yang sebelumnya adalah kamera person di stasiun televisi Berita Satu, kini menjadi staf KYC di Upbit. “Jadi gak masalah latar belakangmu apa, yang penting kamu mau belajar,” tegas Resna. Peluang karier di Web3 tidak melulu tentang coding atau smart contract. Posisi seperti community manager, content writer, analis data, hingga customer support terbuka lebar. Justru yang masih kekurangan saat ini adalah junior developer dan talenta yang siap menyelami sisi teknis Web3 dengan serius.
6.Tantangan dan Geopolitik Global
Menjawab pertanyaan peserta tentang pengaruh konflik internasional seperti antara Iran, Israel, dan Amerika Serikat, Resna memberikan pandangan jujur: meskipun ada potensi dampak terhadap volatilitas pasar, namun untuk saat ini pasar Indonesia relatif stabil. “Waktu Covid-19 2020–2023 itu orang dirumahkan, ekonomi turun, tapi transaksi kripto tetap jalan. Jadi selama infrastrukturnya jalan dan pengguna tetap punya akses, kita bisa survive,” ujarnya. Ini menunjukkan bahwa kripto bukan sekadar spekulasi, tetapi juga bagian dari resiliensi ekonomi digital, terutama ketika kondisi ekonomi tradisional sedang tidak pasti.
7. Kondisi Web3 di Indonesia
Menutup sesinya, Resna menggarisbawahi satu hal penting: Web3 di Indonesia masih dalam tahap pertumbuhan awal, dan acara seperti “Web3 on Campus” adalah salah satu bentuk konkret dari upaya edukasi massal. Literasi menjadi kunci agar masyarakat bisa menjadi pengguna yang cerdas, bukan korban hype. Pesannya kepada generasi muda sangat jelas: jangan terlalu banyak berpikir hingga overthinking. Kadang, langkah kecil yang diambil dengan penuh semangat bisa membuka jalan yang tidak pernah kita bayangkan sebelumnya.
Leave a Reply