Mengenal Dunia Web3 bersama Komunitas WFA Indonesia: Memahami Masa Depan Internet yang Terdesentralisasi

Posted by

Prolog

Kemajuan teknologi digital tidak hanya menciptakan inovasi-inovasi baru, tetapi juga memunculkan istilah-istilah yang belum familiar bagi sebagian besar masyarakat. Salah satu istilah yang kini mulai banyak dibicarakan adalah “Web3”. Bagi banyak orang, istilah ini terdengar teknis dan futuristik, padahal Web3 justru hadir sebagai solusi atas berbagai keterbatasan dalam sistem internet yang kita gunakan selama ini. Melalui sesi diskusi terbuka AMA (Ask Me Anything) yang diselenggarakan oleh komunitas WFA Indonesia di grup Telegram resmi mereka pada tanggal 4 Mei 2025, topik mengenai “Apa itu Web3?” dibahas secara lugas dan mudah dicerna, menjadikan diskusi ini sebagai pintu masuk ideal untuk memahami era baru internet yang lebih adil dan terbuka.

Memahami Evolusi Web: Dari Web1 hingga Web3

Untuk memahami Web3 secara menyeluruh, kita perlu menengok sejarah perkembangan internet dari generasi ke generasi. Internet generasi pertama, yang disebut sebagai Web1, merupakan bentuk awal dari web statis. Pada masa ini, pengguna hanya dapat mengakses informasi yang ditampilkan secara satu arah, tanpa adanya interaksi. Contohnya dapat ditemukan pada situs berita, direktori informasi, atau halaman ramalan cuaca, di mana pembaca tidak memiliki ruang untuk memberikan komentar atau umpan balik.

Memasuki era Web2, internet mengalami transformasi besar. Fase ini menghadirkan fitur interaktif, memungkinkan pengguna membuat akun, mengunggah konten, memberi komentar, hingga melakukan komunikasi dua arah seperti panggilan video dan siaran langsung. Platform seperti Instagram, TikTok, YouTube, dan WhatsApp menjadi representasi kuat dari era Web2. Namun, seiring berkembangnya ekosistem digital ini, muncul permasalahan mendasar berupa sentralisasi. Seluruh data dan aktivitas pengguna dikendalikan oleh perusahaan tertentu, sehingga ketika terjadi gangguan pada server pusat, jutaan pengguna di seluruh dunia bisa terkena dampaknya.

Kritik terhadap sentralisasi ini menjadi titik tolak lahirnya Web3. Berbeda dari pendahulunya, Web3 dibangun dengan prinsip desentralisasi, di mana kepemilikan data dikembalikan kepada pengguna, bukan kepada perusahaan.

Web3: Desentralisasi dan Kepemilikan Digital

Konsep utama Web3 adalah mengembalikan kontrol dan kepemilikan kepada pengguna. Dalam Web3, identitas digital tidak lagi berbasis akun yang didaftarkan melalui email dan password, melainkan melalui wallet digital seperti MetaMask atau Bitget. Wallet ini berfungsi sebagai kunci utama untuk mengakses berbagai aplikasi Web3 tanpa perlu membuat akun terpisah untuk setiap layanan.

Satu wallet dapat digunakan untuk bertransaksi di proyek DeFi (keuangan terdesentralisasi), bermain di platform game berbasis blockchain, hingga berinteraksi dalam komunitas NFT dan DAO. Uniknya, wallet ini sepenuhnya bersifat pribadi dan hanya dapat diakses melalui seed phrase—rangkaian kata kunci unik yang harus dijaga dengan sangat hati-hati. Jika pengguna kehilangan seed phrase tersebut, maka akses terhadap wallet dan seluruh aset di dalamnya akan hilang secara permanen.

Filosofi Web3 sangat berbeda dari Web2 karena mengusung prinsip bahwa pengguna bertanggung jawab penuh atas datanya sendiri. Dengan demikian, keamanan digital bukan lagi menjadi urusan pihak ketiga, tetapi menjadi tanggung jawab pribadi yang harus disadari sejak awal.

Belajar Web3 Melalui Praktik Langsung

Salah satu cara terbaik untuk memahami ekosistem Web3 adalah dengan melibatkan diri dalam aktivitas nyata yang terjadi di dalamnya. Banyak pemula memulai perjalanan mereka melalui kegiatan seperti airdrop, testnet, dan retrodrop.

Pertama, airdrop adalah program promosi yang dilakukan oleh proyek blockchain untuk mendistribusikan token secara gratis kepada pengguna. Biasanya, pengguna diminta menyelesaikan serangkaian tugas ringan, seperti mengikuti akun media sosial proyek, bergabung dengan grup komunitas, atau mencoba fitur aplikasi.

Kedua, testnet merupakan jaringan uji coba dari proyek blockchain, di mana pengguna dapat mencoba fitur-fitur baru tanpa risiko kehilangan aset riil. Testnet ini memberikan pengalaman langsung dalam menggunakan dApp, mengatur wallet, dan melakukan transaksi berbasis blockchain, sehingga menjadi sarana edukatif yang efektif.

Ketiga, retrodrop adalah bentuk penghargaan kepada pengguna lama yang telah menggunakan layanan proyek secara aktif sebelum peluncuran token. Tidak seperti airdrop biasa, retrodrop biasanya diberikan secara mengejutkan kepada pengguna yang dinilai memiliki kontribusi organik, seperti penggunaan aplikasi secara rutin atau partisipasi dalam komunitas.

Namun, penting untuk dipahami bahwa tidak semua pengguna otomatis mendapatkan hadiah. Banyak proyek Web3 yang menerapkan sistem seleksi kelayakan berdasarkan aktivitas yang terekam secara on-chain. Hal ini mengajarkan kepada pengguna bahwa dalam Web3, setiap interaksi yang dilakukan terekam dalam blockchain, dan konsistensi serta integritas digital menjadi faktor utama yang menentukan penghargaan.

Peluang Karier dalam Ekosistem Web3

Web3 bukan hanya tentang teknologi dan insentif, tetapi juga membuka peluang ekonomi dan karier bagi siapa pun yang mau terlibat secara aktif. Banyak proyek mencari individu yang dapat berperan sebagai ambassador, community manager, hingga content creator.

Seorang ambassador biasanya bertugas mempromosikan proyek dan membangun kesadaran komunitas di tingkat lokal maupun global. Sementara itu, community manager berfungsi menjaga interaksi dan kenyamanan komunitas, menjawab pertanyaan pengguna, serta menjadi jembatan antara pengguna dan tim pengembang. Di sisi lain, content creator memegang peran penting dalam edukasi, baik melalui tulisan blog, video tutorial, thread Twitter, atau infografik edukatif.

Banyak dari pekerjaan ini bersifat remote dan global, sehingga kemampuan berbahasa Inggris menjadi keahlian yang sangat berharga. Bahkan, belakangan ini penguasaan bahasa Mandarin juga menjadi nilai tambah, mengingat besarnya pengaruh proyek-proyek Web3 yang berasal dari China. Dalam membangun karier di Web3, portofolio digital sangat penting. Banyak orang mencantumkan pengalaman mengikuti testnet, menulis laporan eksplorasi, atau mengelola komunitas sebagai bagian dari profil profesional mereka di LinkedIn dan CV.

Tren Yapping dan Aktivisme Komunitas

Di tengah berkembangnya Web3, muncul tren baru bernama yapping. Istilah ini merujuk pada aktivitas membahas proyek tertentu di media sosial dengan tujuan membangun eksposur dan menunjukkan keterlibatan aktif kepada tim pengembang. Yapping bukan sekadar promosi, melainkan bentuk partisipasi komunitas dalam membangun reputasi proyek.

Aktivitas yapping sering kali menjadi pertimbangan dalam distribusi token saat peluncuran resmi. Pengembang kini lebih selektif dalam memberikan penghargaan, dan mulai menyaring siapa saja yang benar-benar aktif dan berkontribusi, bukan sekadar peserta pasif yang hanya mendaftar lalu menghilang. Oleh karena itu, konsistensi dalam bertransaksi, menjaga relasi di komunitas, serta memperkuat narasi proyek di ruang digital menjadi nilai tambah yang signifikan dalam Web3.

Strategi Menentukan Proyek Web3 yang Layak

Di tengah membanjirnya proyek-proyek Web3 baru, pengguna perlu membekali diri dengan strategi dalam memilih proyek yang potensial dan aman. Ada beberapa indikator utama yang dapat dijadikan acuan dalam melakukan penilaian.

Pertama, penting untuk memastikan bahwa proyek memiliki pendanaan yang transparan dan terverifikasi. Situs seperti Cryptorank.io dapat digunakan untuk mengecek siapa investor di balik proyek tersebut dan seberapa besar pendanaannya.

Kedua, proyek yang dibangun langsung di atas jaringan blockchain utama atau Layer 1, seperti Ethereum atau Solana, cenderung lebih kuat dari segi fondasi teknis dan komunitas. Hal ini menunjukkan bahwa proyek tidak sekadar menumpang pada jaringan pihak ketiga.

Ketiga, aktivitas komunitas menjadi sinyal vital. Proyek yang sehat umumnya memiliki komunitas aktif di berbagai platform seperti Telegram, Discord, dan X (Twitter). Komunitas yang hidup mencerminkan keberlanjutan dan keterlibatan organik.

Keempat, dukungan dari institusi ternama atau investor besar menambah kredibilitas proyek. Jika akun resmi proyek diikuti oleh nama-nama besar dalam dunia kripto, maka hal tersebut patut diperhitungkan sebagai tanda positif.

Beberapa tren proyek Web3 yang sedang naik daun saat ini mencakup proyek tap-to-earn yang berbasis Telegram, proyek DePIN (Decentralized Physical Infrastructure Network) yang memanfaatkan bandwidth atau perangkat pengguna, serta proyek GameFi dan NFT yang menggabungkan hiburan dan ekonomi digital dalam satu ekosistem.

Categories:

Tags:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *